
Militer Produksi Obat: Antara Harapan Efisiensi dan Risiko Otoritarianisme
KAPSUL4D Jakarta, 28 Juli 2025 – Keputusan pemerintah Indonesia untuk melibatkan militer dalam produksi obat-obatan skala nasional menuai pro dan kontra. Inisiatif ini diumumkan oleh Presiden RI dan Panglima TNI sebagai bagian dari strategi menurunkan harga obat, memberantas penyelundupan farmasi ilegal, dan memperkuat ketahanan kesehatan nasional.
Namun, di balik niat baik tersebut, para pengamat, LSM, dan kalangan akademisi memperingatkan potensi risiko besar bagi sistem demokrasi dan tata kelola sektor kesehatan.
Tujuan Resmi Program
Menurut Kementerian Kesehatan, kolaborasi ini menargetkan:
- Menurunkan harga obat hingga 50% dibanding harga pasaran;
- Membatasi ketergantungan terhadap impor, terutama obat generik dan esensial;
- Memerangi penyelundupan dan peredaran obat palsu, yang marak di perbatasan.
Obat-obatan produksi TNI direncanakan mulai diproduksi massal pada Oktober 2025 dan dipasarkan melalui distribusi BPJS dan apotek pemerintah.
Peran Militer yang Diperluas
TNI akan mengelola pabrik obat sendiri, didukung oleh para ahli dari institusi farmasi nasional, dan beroperasi di bawah unit baru yang disebut Divisi Kesehatan Mandiri TNI. Panglima TNI menyatakan bahwa ini adalah “kontribusi strategis militer dalam pembangunan nasional”.
Namun langkah ini memperluas peran militer ke sektor non-keamanan sipil, yang biasanya ditangani oleh instansi sipil seperti Kementerian Kesehatan dan BUMN farmasi (Kimia Farma, Bio Farma).
Kritik dan Kekhawatiran
1. Pelanggaran Prinsip Demokrasi
Aktivis sipil menilai langkah ini berbahaya karena membuka jalan militer mengintervensi sektor sipil yang krusial. Peneliti dari LIPI menyebut, “Ada kekhawatiran militerisasi kebijakan kesehatan yang harusnya berbasis transparansi dan partisipasi publik.”
2. Potensi Konflik Kepentingan
Dengan diberi kewenangan memproduksi dan mendistribusikan obat, TNI berisiko bertindak di luar pengawasan sipil dan membuka peluang konflik kepentingan atau tumpang tindih regulasi.
3. Ancaman bagi Pelaku Industri Farmasi
Pelaku usaha dan asosiasi farmasi menyatakan kekhawatiran bahwa produk militer bisa mengganggu iklim usaha dan inovasi karena potensi subsidi silang yang tak bisa ditandingi oleh industri swasta.
Respons Pemerintah
Menteri Kesehatan menepis kekhawatiran tersebut, menyebut bahwa militer hanya menjadi “pelengkap” dalam sistem kesehatan nasional dan tetap berada di bawah regulasi BPOM dan Kemenkes. Produksi obat oleh militer akan diaudit secara ketat oleh lembaga pengawas independen.
Reaksi Internasional
Organisasi seperti Human Rights Watch dan Amnesty International menyatakan keprihatinan atas tren peningkatan peran militer di pemerintahan sipil. Mereka mengingatkan bahwa negara demokratis perlu menjaga batas tegas antara militer dan pelayanan publik
Langkah pemerintah melibatkan militer dalam produksi obat adalah strategi besar yang bisa mendatangkan manfaat signifikan, seperti harga obat lebih terjangkau dan suplai nasional yang lebih stabil. Namun jika tidak diawasi dengan ketat dan transparan, kebijakan ini juga bisa membuka celah militerisasi sistem sipil, mengganggu demokrasi, dan memperlemah sistem kesehatan berbasis masyarakat.
Pertanyaan utamanya bukan hanya soal efisiensi, tapi: Siapa yang seharusnya mengatur obat rakyat? Militer, atau masyarakat sipil?
Link Anti Internet Positif : www.ruangmasuk.com
Whatsapp Resmi Kapsul4D : kapsul4d.link/Whatsapp