
Proyek Sintesis DNA Manusia: Inovasi Medis atau Gerbang Etika yang Berbahaya?
Dunia Ilmiah Menuju Era Genetik Buatan
KAPSUL4D London, 30 Juni 2025 – Komunitas ilmiah global kembali dihadapkan pada terobosan yang mencengangkan sekaligus memicu perdebatan: sebuah proyek ambisius bernama SynHG (Synthetic Human Genome Project) resmi diluncurkan di Inggris, dengan misi menyintesis bagian dari DNA manusia secara buatan di laboratorium.
Proyek ini didanai sebesar £10 juta oleh Wellcome Trust dan dikoordinasikan oleh tim ilmuwan lintas disiplin dari University of Cambridge, Imperial College London, dan Sanger Institute. Fokus awal proyek ini adalah menciptakan versi sintetis dari satu kromosom manusia, bukan mengambil dari tubuh manusia, melainkan membangunnya dari nol menggunakan teknik kimia molekuler.
Tujuan Ilmiah & Aplikasi Medis
Menurut pemimpin proyek, Prof. Ellie Stewart dari Imperial College, tujuan utama proyek ini adalah memahami lebih dalam bagaimana gen manusia bekerja, serta membuka potensi pengobatan revolusioner untuk:
- Penyakit genetik seperti talasemia dan distrofi otot
- Produksi obat berbasis genom
- Penciptaan sel imun buatan yang lebih adaptif
- Pengembangan terapi gen generasi ke-2 yang lebih presisi
“Dengan menyusun DNA secara buatan, kita bisa melihat langsung apa yang terjadi jika satu gen diubah, diganti, atau dihapus. Ini adalah bentuk kontrol paling murni atas eksperimen genetika manusia,” jelas Prof. Ellie.
Munculnya Kontroversi Etika
Namun, di balik potensi ilmiah yang besar, proyek ini memicu perdebatan etika yang sengit. Beberapa isu yang mencuat:
- 🔹 “Man Playing God” – Apakah manusia berhak menciptakan bagian dari dirinya sendiri secara sintetis?
- 🔹 Potensi penyalahgunaan – Kemungkinan penggunaan untuk menciptakan “bayi hasil rekayasa” (designer babies) yang memicu diskriminasi genetik.
- 🔹 Hak paten atas DNA sintetis – Siapa yang akan memiliki hak hukum atas genom buatan?
- 🔹 Risiko kebocoran biologis – Apa yang terjadi jika fragmen DNA sintetis digunakan di luar kendali?
Kelompok bioetika dari Eropa, termasuk Ethics in Science Council (ESC), telah mendesak diberlakukannya moratorium internasional sampai ada kerangka regulasi yang jelas.
Apa Kata Dunia?
- PBB & UNESCO sedang menyusun kode etik riset genetika sintetis dengan tenggat 2026.
- WHO mengingatkan bahwa “ilmu tidak boleh melampaui moralitas”.
- Aktivis HAM genetik khawatir hal ini akan memperdalam kesenjangan antara kelompok berpenghasilan tinggi dan rendah di masa depan.
Harapan dan Kewaspadaan
Walau kontroversial, banyak ilmuwan menilai proyek ini tetap layak untuk dijalankan, asalkan diawasi dengan ketat dan transparan, serta dikomunikasikan secara jujur kepada publik.
“Ini seperti penemuan listrik. Bisa menerangi dunia atau menyetrum bahaya. Tergantung siapa yang memegang kabelnya,” ujar Prof. Indra Kurniawan, pakar bioinformatika dari Indonesia.
Proyek SynHG bukan hanya pencapaian teknologi, melainkan pengingat bahwa sains modern harus berjalan seiring dengan tanggung jawab moral. Inovasi tanpa etika adalah jalan menuju bencana, namun menutup pintu riset juga berarti menutup masa depan pengobatan revolusioner.
Kini, dunia menanti: apakah proyek DNA sintetis akan menjadi fondasi penyembuhan atau membuka Pandora’s Box dalam dunia biologi?